MOROWALI-Sebuah laporan dari Perkumpulan Pengusaha Industri Hasil Hutan (PPIHH) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), menyebutkan tentang telah terjadinya peyimpangan tata niaga kayu, di wilayah hukum Kabupaten Morowali.
“Bukan rahasia umum lagi bahwa patut diduga kayu-kayu yang dipasok ke beberapa lapak penjual kayu adalah kayu tidak memiliki izin penebangan ilegal/penebangan liar sekitar kawasan Morowali. Dengan memanfaatkan izin pinjam pakai kawasan akibat dari pertambangan nikel dan pasokan dari katanya dari kawasan Kendari, “ sebut Ketua PPIHH Sulteng, Hasanudin Mangge kepada media ini, Kamis (11/07/2024).
Dijelaskannya, otoritas kehutanan setempat tidak mampu melaksanakan penertiban karena kebanyakan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) setempat telah memungut dari lapak-lapak tassebut antara Rp 2-3 juta per bulan. Kadang lebih kalau besar usahanya.
“Kayu-kayu tersebut dari pengakuan pengusaha kalau masuk ke industri nikel terbesar di Morowali, lain lagi ceritanya. Kami sudah mengantongi oknum pembeli bos besarnya berinisial LP. Kemudian diekspor melalui kapal-kapal nikel dengan alasan landasan kapal. Masa sampai 500-1000m3 per bulan. Tidak masuk akal. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun 2017, sampai saat ini. Dimana Bea Cukai, katanya yang ada merrka PEB-nya cuma nikel tidak ada kayu, “ beber Hasanudin.
“Sungguh luar biasa permainan ini. Berapa kerugian negara akibat kayu di ekspor ke China, dll, “ ucapnya.
Dia merasa miris, untuk apa dokumen kayu yang penting suap sama oknum APH, sebutnya mengutip informasi beberapa pengusaha kayu di Morowali.
“Lalu untuk apa kami dibentuk PPIHH, tidak bisa membina pengusaha lebih dengar oknum-oknum APH bermain. Tidak menutup kemungkinan oknum KPH juga membiarkan terjadi, yang penting juga ada setoran buat kita di sini. Kemudian, untuk apa dibentuk Gakkum kalau tidak bisa mencegah aksi kongkalingkong seperti ini? Semoga, bisa dibereskan secepatnya tinggal tunggu akibatnya banjir bandang dan bencana lainnya, “ seru Hasanudin.
Saat ini PPIHH Sulteng sudah berkoordinasi dengan anggota DPRD Sulteng yaitu Elisa Bunga Allo, mantan Kepala Dinas (Kadis) Kehutanan Kabupaten Buol, guna membahas masalah ini agar diminimalisir kegiatan mafia kayu di Morowali.
PPIHH Sulteng menyarankan Tata Usaha Kayu (TUK) tidak terkendali lagi di Morowali, maka dibutuhkan peran anggota dewan untuk memanggil semua stakeholder yang bergelut di bidang perkayuan di Sulteng.
“Kami butuh anggota dewan untuk menangani masalah kayu di Morowali. Modusnya dengan memanfaatkan izin pertambangan nikel (pinjam pakai lahan), dan harus bayar PSDH/DR-nya. Harus diperiksa Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng. Karena pihak Dinas Kehutanan yang melaklukan monitoring di lapangan.
“ Belum lagi kegiatan ekspor yang dikelola oleh perusahaan besar nikel. Kami bertanya, dimana Bea Cukai, dan Sukopindo? Kami punya data mengenai kegiatan ekspor ke China dengan alasan landasan kapal, padahal yang dibeli kayu-kayu bermutu bagus. Ukuran tertentu seperti papan dan balak. Karena itu, DPRD Sulteng harus turun dengan cara melakukan rapat dengar pendapat (hearing). Bagaimana saya bisa membina pengusaha kalau oknum APH harus menyetor setiap bulannya Rp 2 juta–Rp 5 juta, dan Rp 10 juta setiap lapak penjualan kayu di sana, “ pungkasnya.(mch)