Oleh : Moh. Ridha Hi. Nawir *)
PERALIHAN fungsi lahan pertanian ke nonpertanian melibatkan faktor-faktor kompleks seperti urbanisasi, industrialisasi, dan kebijakan pertanian. Artikel ini membahas dampaknya terhadap ketahanan pangan dan menyajikan solusi berkelanjutan, termasuk partisipasi masyarakat dan diversifikasi ekonomi. Dengan mengidentifikasi tantangan dan menawarkan solusi, artikel ini mengajak pembaca untuk terlibat dalam usaha bersama menjaga keseimbangan dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
Indonesia, sebagai negara agraris yang kaya akan lahan pertanian, kini berhadapan dengan perubahan dramatis dalam peruntukan lahan pertanian yang semakin beralih ke kebutuhan non-pertanian. Peralihan fungsi lahan ini menciptakan dinamika kompleks yang menantang ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Landasan hukum yang mengaturnya, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan, menjadi kunci untuk memahami, mengevaluasi, dan mengatasi tantangan ini.
Undang-Undang tersebut tidak hanya menyajikan kerangka hukum, tetapi juga mengandung aspirasi untuk menjaga keberlanjutan pertanian pangan dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, peralihan fungsi lahan pertanian ke non-pertanian menjadi perhatian serius yang memerlukan analisis mendalam terhadap dampaknya terhadap ketahanan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan keseimbangan sosial-ekonomi.
Melalui pendekatan ini, artikel ini bertujuan untuk merinci implikasi dan tantangan yang muncul seiring perubahan fungsi lahan, mempertimbangkan aspek-aspek signifikan yang tercakup dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009. Dengan memahami landasan hukum ini, kita dapat mengidentifikasi dan mengeksplorasi solusi yang sesuai untuk memastikan bahwa peralihan fungsi lahan berjalan seiring dengan tujuan keberlanjutan yang diinginkan oleh undang-undang tersebut.
Faktor-faktor mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, ialah pertama faktor kependudukan. Pada faktor kependudukan ini, pertumbuhan dan penyebaran penduduk pada suatu wilayah akan meningkatkan permintaan lahan. Penambahan jumlah penduduk serta peningkatan taraf hidup masyarakat juga berkontribusi terhadap peningkatan permintaan lahan.
Kedua, faktor ekonomi. Pada faktor ekonomi ini, tingginya nilai sewa (land rent) yang diperoleh dari kegiatan sektor non-pertanian menjadi faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan. Biaya produksi pertanian yang tinggi, harga hasil pertanian yang relatif rendah dan fluktuatif, serta kebutuhan mendesak keluarga petani juga menjadi faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan.
Ketiga, faktor sosial budaya. Pada faktor ini keberadaan sistem warisan yang menyebabkan fragmentasi lahan pertanian dapat menghambat skala ekonomi usaha yang menguntungkan. Hal ini dapat mendorong konversi lahan. Karena lahan yang terfragmentasi tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi.
Keempat, perilaku myopic. Perilaku ini mencerminkan pencarian keuntungan dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kepentingan nasional. Contoh dari perilaku tersebut adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mendorong alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian.
Kelima, teknologi dan industrialis. Pertumbuhan teknologi dan industrialisasi menciptakan kebutuhan akan lahan untuk lokasi pabrik, pusat penelitian, dan fasilitas teknologi tinggi.
Keenam, pasar tanah yang dinamis. Peningkatan nilai ekonomis lahan akibat urbanisasi dapat mendorong spekulasi dan alih fungsi lahan dari pertanian ke sektor yang lebih menguntungkan secara finansial.
Dampak Terhadap Ketahanan Pangan
Peralihan fungsi lahan pertanian ke non-pertanian memiliki dampak signifikan terhadap ketahanan pangan, mengancam keseimbangan antara produksi dan konsumsi pangan di Indonesia. Pembahasan mengenai dampak tersebut dapat dibagi menjadi beberapa aspek kunci, yaitu pertama, Penurunan Produksi Pangan Lokal. Peralihan lahan pertanian mengurangi luas lahan yang tersedia untuk bercocok tanam. Ini mengakibatkan penurunan produksi pangan lokal, meningkatkan ketergantungan pada impor, dan merugikan kedaulatan pangan.
Kedua, Ketidakpastian Pasokan Pangan. Ketidakpastian pasokan pangan menjadi lebih tinggi karena perubahan dalam struktur pertanian. Hal ini menciptakan risiko terhadap ketersediaan pangan, terutama ketika terjadi gangguan pada rantai pasokan global.
Ketiga, Kenaikan Harga Pangan. Penurunan produksi lokal dan ketergantungan pada impor dapat menyebabkan kenaikan harga pangan di pasar dalam negeri. Hal ini berdampak negatif pada daya beli masyarakat dan menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap pangan.
Keempat, Penggusuran Petani dan Kemiskinan Rural. Peralihan fungsi lahan dapat menyebabkan penggusuran petani dari lahan mereka. Hal ini berkontribusi pada peningkatan tingkat kemiskinan di wilayah rural, di mana sebagian besar populasi menggantungkan diri pada sektor pertanian.
Kelima, Ketergantungan pada Impor Pangan. Dengan penurunan produksi lokal, negara menjadi lebih tergantung pada impor pangan. Ketergantungan ini meningkatkan rentan terhadap fluktuasi harga global dan ketidakpastian pasokan.
Keenam, Kerentanan terhadap Krisis Pangan. Ketidakpastian pasokan pangan dan ketergantungan pada impor meningkatkan kerentanan terhadap krisis pangan, terutama dalam situasi darurat atau krisis global yang mempengaruhi rantai pasokan pangan.
Ketujuh, Tantangan pada Sistem Ketahanan Pangan Nasional. Peralihan fungsi lahan menantang visi nasional tentang ketahanan pangan. Mencapai ketahanan pangan memerlukan lahan yang cukup untuk memproduksi beragam jenis pangan sesuai kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya, Solusi untuk Mengatasi Tantangan Peralihan Fungsi Lahan Pertanian. Peralihan fungsi lahan pertanian ke lahan nonpertanian dapat dihadapi dengan sejumlah solusi yang berfokus pada keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diimplementasikan. Pertama,
Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Mendorong praktik pertanian yang berkelanjutan seperti pertanian organik, agroforestri, dan diversifikasi tanaman. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian sambil meminimalkan dampak lingkungan.
Kedua, Pengelolaan Lahan yang Berbasis Masyarakat. Menerapkan model pengelolaan lahan yang melibatkan partisipasi aktif dari petani dan komunitas lokal. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, memastikan keberlanjutan ekonomi lokal.
Ketiga, Konservasi Lahan Pertanian. Menetapkan kebijakan yang mendukung konservasi lahan pertanian melalui zonasi dan perlindungan lahan strategis. Hal ini dapat mencegah alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan mempertahankan ketersediaan lahan untuk pertanian.
Keempat, Diversifikasi Ekonomi di Wilayah Rural. Mendorong keberlanjutan ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor ekonomi nonpertanian, seperti pariwisata berkelanjutan atau industri kreatif. Hal ini dapat engurangi ketergantungan pada sektor pertanian dan menciptakan peluang pekerjaan baru.
Kelima, Perencanaan Ruang yang Terencana. Mengembangkan perencanaan tata ruang yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan kebutuhan pertanian, perkotaan, dan konservasi alam. Hal ini dapat meminimalkan konflik kepentingan dan menjaga keseimbangan antara pertanian dan pengembangan nonpertanian.
Keenam, Koordinasi Antarkebijakan. Meningkatkan koordinasi antara kebijakan pertanian, tata ruang, dan pembangunan ekonomi untuk menciptakan sinergi. Hal ini dapat meminimalkan ketidakselarasan antarkebijakan dan mengoptimalkan hasil pembangunan.
Ketujuh, Pelatihan dan Pendidikan. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada petani untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan. Hal ini dapat meningkatkan daya saing petani dan mendukung keberlanjutan sektor pertanian.
Kedelapan Inovasi Teknologi. Mendorong adopsi teknologi modern dalam pertanian untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Hal ini dapat memperkuat daya saing pertanian dan menciptakan lapangan kerja di sektor teknologi pertanian.
Kesembilan, Pemberdayaan Komunitas Lokal. Membangun kapasitas dan pemberdayaan komunitas lokal untuk mengambil peran aktif dalam mengatasi tantangan dan mempromosikan keberlanjutan. Hal ini dapat memastikan keberlanjutan yang inklusif dan merata di seluruh lapisan masyarakat.
Melalui implementasi solusi-solusi ini, diharapkan peralihan fungsi lahan pertanian dapat dikelola secara berkelanjutan, menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan generasi mendatang.
Dalam perjalanan kita menjelajahi peralihan fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian, telah terungkap kompleksitas dinamika yang melibatkan faktor-faktor mempengaruhi, dampak terhadap ketahanan pangan, dan solusi untuk mengatasi tantangan.
Penutup ini bertujuan untuk merefleksikan perjalanan diskusi ini dan memberikan gambaran keseluruhan.
Peralihan fungsi lahan, sebagai fenomena multifaset, tidak hanya mencakup perubahan fisik lahan tetapi juga melibatkan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Faktor-faktor seperti urbanisasi, industrialisasi, dan perubahan kebijakan memiliki peran kritis dalam membentuk pemandangan perubahan ini. Terdapat ketidakpastian terkait dengan konsekuensi dari alih fungsi lahan ini, khususnya dalam konteks ketahanan pangan di tingkat lokal dan global.
Dalam menghadapi tantangan peralihan fungsi lahan, kita menemukan bahwa solusi berkelanjutan sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan mencegah dampak negatif yang dapat timbul. Dari diskusi mengenai solusi, terlihat bahwa pendekatan terkoordinasi dan inklusif melibatkan partisipasi masyarakat adalah kunci untuk mengatasi perubahan kompleks ini.
Dengan meningkatnya pemahaman akan faktor-faktor yang mempengaruhi, dampak yang mungkin terjadi, dan solusi yang dapat diimplementasikan, kita diharapkan dapat membuka pintu menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Memelihara keseimbangan antara pertanian dan sektor nonpertanian, serta melibatkan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan, akan menjadi poin kunci dalam mencapai transformasi yang positif.
Melalui upaya bersama dan kesadaran akan kompleksitas peralihan fungsi lahan, kita dapat membuka jalan menuju solusi yang dapat diimplementasikan, menjaga ketahanan pangan, dan membangun masyarakat yang berkelanjutan dan tangguh. Dengan begitu, kita dapat meraih tujuan untuk menjaga keberlanjutan lahan dan sumber daya alam bagi generasi mendatang.
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Tadulako. Email: mohridhanawir@gmail.com