
Oleh : Hasanuddin Atjo *)
Industri udang Nasional terus menerus diterpa “gelombang badai” yang telah menurunkan daya saingnya. Secara internal penyakit udang menjadi soal utama yang sudah berlangsung lama dan perlu solusi konkrit.
Soal internal lainnya masih diperhadapkan kepada isu tata kelola perizinan, mutu udang , HPP (Harga Pokok Produksi) dan mahalnya ongkos logistik ikut menurunkan daya saing, sehingga melemahkan kinerja industri udang.
Regulasi tata kelola perizinan dinilai ribet. Bahkan karena belum memenuhi aturan satu kementrian, petambak bisa berhadapan dengan pidana. Dan ini membuat sejumlah pelaku usaha berpikir dua kali dan menurunkan minat untuk berinvestasi pada bisnis ini.
Kementrian maupun lembaga memandang bahwa tata kelola perizinan merupakan masalah utama terhadap kinerja industri udang Nasional yang merosot
Sementara itu pelaku usaha beranggapan tata kelola itu menjadi masalah buat mereka. karena berbelit, panjang dan ribet yang harus diurus sendiri.
Harga pokok produksi (HPP) udang kita lebih mahal sekitar $US 0.75 dari Ekuador dan $US 0.30 dari Vietnam. Negeri yang baru saja merdeka tahun 1975, boleh dibilang mereka banyak belajar dari Indonesia.
Mutu udang juga dinilai rendah, karena jarak sentra produksi ke cold storedge pada umumnya membutuhkan waktu 2 hingga 3 hari perjalanan. Akibatnya udang yang tadinya bermutu baik menjadi rendah.
Malah pola pascapanen seperti itu tetap dipertahankan meski jarak dengan cold storedge relatif dekat. Ini dikarenakan adanya harapan penambahan bobot udang sebesar 7 hingga 8 persen oleh adanya retensi air pada saat diangkut dalam wadah berinsulasi berbahan pengawet es.
Udang yang pascapanennya seperti ini akan lebih mudah diterima oleh pasar Amerika. Sementara untuk pasar Uni Eropa, Jepang dan China akan lebih sulit karena persyaratan mutu yang lebih ketat.
Kebijakan Donald Trump yang dinilai ugal ugalan terhadap prenerapan tarif resiprokal atau pengenaan pajak impor yang tinggi terhadap ekspor produk sejumlah Negara termasuk dari Indonesia, menyebabkan beban pelaku usaha makin bertambah
Ekspor komoditi dari Indonesia termasuk udang nantinya akan dikenakan pajak impor sebesar 32 persen. Meskipun pada saat ini Pemerintah terus berupaya melakukan negosiasi, agar bisa tidak sebesar itu.
Sebelumnya, udang indonesia yang masuk ke AS dikenakan pajak impor senilai 3,6 persen, dan menyebabkan pembelian udang ditingkat pembudidaya berkurang.
Pemerintah juga melahirkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2023 tentang devisa hasil ekspor kepada kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam
Eksportir komoditi ini berdasar PP no 36 tersebut diharuskan memarkir dananya, apabila nilai ekspornya mencapai angka minimal $US 250.000 dollar. Dana tersebut diparkir selama satu tahun meskipun mendapat kompensasi bunga.
Secara akumulatif PP no 36 dsn pajak impor AS 3,6 persen telsh menurunkan harga udang ditingkat pembudidaya hingga 10 ribu rupiah per kg. Bahkan bisa lebih dari itu pada daerah yang jauh dari input produksi dan industri pengolahan karena ongkos logistik yang mahal.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib pembudidaya udang dan industri pendukung lainnya seperti hatchery (balai benih), pabrik pakan, pabrik prosesing dan jasa lainnya bila kebijakan Trump, berupa pajak masuk 32 persen diberlakukan.
Kebijakan Trump tentunya bisa menjadi satu ancaman serius terhadap meningkatnya angka pengagguran yang memang sudah tinggi. Dan dikuatirkan akan mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Dikarenakan mutu udang kita rendah, dan Amerika Serikat belum memberlakukan mutu secara ketat, maka pasar udang hampir 70 persen ke negeri Pamam Sam dari total ekspor tahun 2024 sebesar 209.000 ton.
Berbeda dengan Jepang, Uni Eropa dan China sangat ketat memberlakukan mutu. Karena 0itu ekspor udang ke Jepang pada tahun 2024 sekitar 19 persen. Kemudian ke Uni Eropa dan China sekitar 11 persen.
Negara kompetitor seperti Ekuador dan Vietnam tujuan pasarnya lebih dominan ke China, Jepang dan Umi Eropa.
Tercatat ekspor Ekuador ke China tahun 2024 sekitar 60 persen dari total ekspornya 1.200.000 ton
Memperbesar pasar udang ke Cbina, Jepang dan Uni Eropa sesungguhnya menjadi salah satu alternatif, karena tarif ke Negara itu tidak memberatkan, namun menuntut syarat mutu yang prima dan perlu bersaing.
Meningkatkan konsumsi udang dalam negeri menjadi salah satu opsi, namun terkendala oleh daya beli dan promosi yang kurang. Menekan HPP dan kampanye makan udang tentunya jadi salah satu upaya.
Selanjutnya pengembangan industri udang Nasional sudah harus berbasis cluster pulau besar. Tujuannya agar efisiensi, mutu udang bisa ditingkatkan dan penyebaran penyakit bisa diisolasi.
Terakhir kebijakan Trump bisa diambil hikmah maupun sisi positifnya. Bisa jadi dengan kejadian ini memaksa para pihak melakukan perubahan mendasar mengembangkan industri udang Nasional.
Sangat diperkukan kehadiran satu peta mitigasi peningkatan kinerja industri udang nasiomal menyikapi sejumlah persoalan internal dan kebijakan negara tujuan ekspor.
*) Penulis adalah Dewan Pakar Persatuan Pensiunan ASN Provinsi Sulawesi Tengah.