Oleh : Hasanudfn Atjo *)
IKAN Nila, dalam bahasa latin disebut Oreochromis niloticus, merupakan Ikan air tawar, yang asal muasalnya dari sungai Nil, di Afrika bagian Selatan. Dan kini menjadi salah satu ikan air tawar yang banyak dibutuhkan. Ikan ini diintrodusir ke negeri bergelar kepulauan ini melalui Taiwan pada tahun 1969. Dan setelah tahun 2010 inovasi dan teknologi perbenihan maupun pembudidayaanya berkembang begitu pesat, terutama di Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan.
Melalui tekmologi rekayasa, ikan ini bisa tumbuh dengan baik pada rentang salinitas (kadar garam) 0 – 25 permil dan suhu air 25 – 32 derajat celcius. Karenanya jenis ikan ini banyak dibudidayakan di kolam air tawar dan payau pada sejumlah tempat.
Ketahanan dan Swasembada pangan merupakam program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Program ini dinilai bisa memdorong perluasan areal budidaya, peningkatan produksi dan sumber devisa sekaligus sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat.
Ikan ini, tidak hanya dipasarkan dalam negeri, terbuka peluang diekspor mengisi pasar USA, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, serta China. Bahkan di USA menjadi jenis ikan populer ke empat setelah udang, ikan salmon dan tuna.
Nila diperdagangkan di pasar global dalam bentuk segar dan beku diantaranya utuh segar dan beku, fillet segar dan beku.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Indonesia pada saat ini sebagai produsen Nila terbesar kedua dunia dan mengekspor tilapia (nama lain ) sebanyak 12,29 ribu ton dengan nilai US$ 78,44 juta (pada tahun 2020).
Masih sangat terbuka peluang meningkatkan produksi dan ekspor antara lain membuka sentra produksi baru seperti di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. Diharapkan Pemerintah Pusat bisa memberi dukungan sebagai bagian program super prioritas Swasembada dan Ketahanan Pangan.
Menurut data IOJI (Indonesian Ocean Juctice Initiative) bahwa ekspor Nila Indonesia berasal dari 5 provinsi, yaitu Sumut, Jateng Jatim, Sulut, dan DKI Jakarta. Kontribusi Nilai ekspor dari kelima provinsi itu berturut – turut sebesar 91,66 persen, 8,29 persen, 0,04 persen, dan 0,0001 persen.
Kabupaten Parigi Moutong dan Poso serta Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah dinilai cocok berdasarkan kesesuaian lahan maupun iklim sebagai sentra budidaya dan prosesing ikan Nila. Apalagi memilki danau besar, danau Poso dan Lindu.
Ribuan hektare tambak atau kolam ikan yang ada serta cetak baru di tiga kabupaten tersebut bisa dimanfaatkan memproduksi ikan Nila yang pada saat ini dinilai belum optimal. Padahal kebutuhan Nila di Sulawesi Tengah terus meningkat tajam. Berdasarkan hasil pengamatan dan investigasi, kekurangan ikan Nila di Sulteng termasuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tambang di Morowali dan Morowali masih dipasok dari Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo.
Cetak biru (blue print) yang komprehensif-implementatif sangat dibutuhkan mendorong ketiga Kabupaten tersebut menjadi sentra industri ikan Nila sebagai sunber pangan, devisa maupun kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan.
Pemerintahan baru Provinsi Sulawesi Tengah yang baru saja dilantik, dinilai mampu dan memiliki komitmen yang kuat untuk merealisasikan gagasan tersebut. Hal Ini adalah sebagai upaya mewujudkan Visi ” Berani, Mewujudkan Sulawesi Tengah sebagai Wilayah Pertanian dan Industri Tambang Maju dan berkelanjutan”.SEMOGA.
*) Penulis adalah Dewan Pakar Persatuan Pensiunan Indonesia (PPI) Sulteng.