Harusnya Melihat secara Historis
PALU-Pada 11 Desember 2023 lalu, telah terjadi penangkapan terhadap tiga orang petani atas nama Farid, Arwin dan Emon oleh Tim Operasi Pengamanan Hutan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi, bersama dengan Tim Patroli Pengamanan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL).
Ketiganya dituduh sedang melakukan aktifitas penambangan tanpa izin di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Pihak keluarga baru mengetahui bahwa anggota keluarganya telah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) kelas II Kota Palu, melalui surat penahanan yang dilayangkan kepada keluarga dua hari setelah proses penahanan dilakukan.
Melalui lampiran surat penahanan terebut diketahui bahwa proses penyidikan telah rampung dilaksanakan pada 12 Desember 2023, dengan putusan ditetapkannya ketiga orang petani sebagai tersangka yang selanjutnya mendapatkan sanksi penahanan sejak 13 Desember 2023 hingga 1 Januari 2024.
Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Mohamd Ali mengatakan proses tersebut dinilai bahwa proses penahanan yang dilakukan adalah improsedural sebab surat penahanan diberikan kepada keluarga dua hari setelah proses penahan dilakukan dan bahkan setelah proses penyidikan telah rampung dilakukan sehingga korban tidak memiliki kesempatan untuk meminta hak untuk mendapatkan pembelaaan dan pendampingan hukum.
Selain itu, dalam proses penangkapan yang disebut sebagai kegiatan Operasi Pengamanan Hutan dalam rilis resmi Gakumdu Wilayah Sulawesi dan BBTNLL tertanggal 18 Desember 2023, personel yang terlibat dalam operasi tersebut juga rupanya dipersenjatai dengan senjata organik yang tampak dalam foto yang dilampirkan dalam rilis tersebut.
Hal itu tentunya adalah bagian dari tindakan teror dan intimidasi yang dilakukan Gakkumdu dan BBTLL terhadap rakyat. Serta menunjukkan bahwa sejak awal Gakkumdu pun juga BBTNLL telah mendudukan rakyat lingkar kawasan TNLL sebagai pelaku kriminal.
“Kami juga menilai, bahwa tuduhan yang diberikan oleh BBTNLL dan Gakkumdu Wilayah Sulawesi terhadap tiga orang petani yang ditangkap adalah berlebihan. Karena sesungguhnya, mereka hanya sedang mengumpulkan batuan material sisa pertambangan yang telah ditutup sejak bulan Mei tahun 2023 lalu, “ kata Mohamad Ali, Ketua Umum Aliansi Gerakan Reforma Agraria.
Adapun peralatan yang disita, seperti 1 buah linggis, 1 buah martil dan 1 buah alat tibe yang oleh Gakummdu dan BBTNLL disebut ditemukan di lokasi penangkapan adalah bukan milik ketiga korban tersebut. Kecuali parang yang memang selalu dibawa layaknya kaum tani pada umumnya ketika berpegian ke ladang ataupun hutan serta seperempat karung batuan yang sudah berhasil mereka kumpulkan, sebelum penangkapan dilakukan.
Dijelaskan Mohamad Ali, berdasarkan penuturan keluarga dan tetangga, diketahui bahwa Farid dan Arwin sehari-hari bekerja sebagai buruh tani saat musim tanam dan musim panen, dan di luar musim tersebut mereka akan menjadi pekerja serabutan.
“Bapak Farid dan bapak Arwin sebenarnya juga memiliki lahan perkebunan yang ditanami berbagai komoditas seperti kemiri, vanili maupun kelapa yang juga telah diklaim sebagai kawasan hutan yang hasilnya saat ini tidak lagi produktif bahkan kemiri sudah tidak lagi berbuah lebat sejak gempa tahun 2018 yang telah mengakibatkan kekeringan di wilayah aliran DAS Gumbasa yang selanjutnya diperparah oleh berbagai fenomena perubahan iklim seperti badai Elnino yang mengakibatkan kemarau panjang yang tentunya juga berdampak buruk terhadap pertaniain rakyat, “ ungkap Mohamad Ali.
Menurutnya, rusaknya mata pencaharian ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 yang sangat panjang, semakin memperburuk situasi ekonomi sehingga tidak sedikit keluarga tani terjerat utang pinjaman “tanggung renteng” yang harus dibayar mingguan termasuk Farid dan Arwin.
“Untuk itu, bapak Farid dan bapak Arwin terpaksa harus bekerja serabutan termasuk mencoba peruntungan dengan mengumpulkan batuan sisa tambang. Dengan harapan bisa dijual untuk bertahan hidup dan membayar utang yang sayangnya ditangkap oleh Gakkummdu dan BBTNLL dalam percobaan pengumpulan pertamanya, “ terangnya.
“Bapak Farid dan bapak Arwin juga adalah tulang punggung keluarga yang harus menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sehingga sontak setelah ditahan, keluarga tak lagi memiliki sumber pendapatan sama sekali karena kehilangan satu-satunya tenaga yang selama ini bekerja untuk mencari nafkah, “ ujarnya lagi.
Tindakan kekerasan dan kriminalisasi di wilayah taman Nasional Lore Lindu ini bukan kali
pertama tetapi tinddakan kriminalisasi, kali ini menjadi pelengkap dari catatan buruk tindakan pelenggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dilakukan oleh BBTNLL terhadap rakyat lingkar kawasan TNLL.
Sebelumnya, pada tahun 2013 telah terjadi penangkapan terhadap satu orang petani di Kabupaten Poso dengan tuduhan melakukan pembalakan liar, selanjutnya pada tahun 2014 sebanyak 13 orang petani Dongidongi dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penebangan liar, dan pada tahun 2016 sebanyak 14 orang petani Dongidongi ditembaki saat sedang melakukan persiapan aksi demonstrasi menuntut tapal batas TNLL.
“Kami menilai, bahwa muara dari serangkaian tindakan kekerasan dan kriminalisasi di wilayah TNLL ini adalah klaim Balai TNLL terhadap tanah dan wilayah rakyat lingkar kawasan TNLL, yang sejak lama telah dipermasalahkan rakyat lingkar TNLL. Sebab, jauh sebelum kehadiran Balai TNLL kawasan tersebut bukanlah tanah kosong melainkan tanah yang telah digarap dan dimanfaatkan oleh rakyat sekitar, dan pemanfaatan tersebut masih berlangsung hingga saat ini, “ ungkapnya.
Kehadiran Balai TNLL dengan penguasaan tanah yang sangat luas yaitu mencapai 215.733,70 hektare, tentunya telah mempersempit lahan garapan rakyat dan setahap demi setahap mengisolasi rakyat dari wilayah kelolanya.
Atas situasi ini, Aliansi Gerakan Reforma Agraria menuntut, pertama, hentikan proses hukum dan bebaskan Farid, Arwin dan Emon karena mereka tidak melakukan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana yang dituduhkan.
Kedua, berikan hak rakyat Sidondo I dan seluruh rakyat lingkar Taman Nasional Lore Lindu untuk berladang dan memanfaatkan hasil hutan serta seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya secara adil dan bertanggung jawab.
Ketiga, hentikan tindakan terror, intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat
Sidondo I dan seluruh rakyat lingkar TNLL. Keempat, cabut SK Penetapan BBTNLL karena merampas tanah dan wilayah rakyat. Kelima, laksanakan reforma agraria sejati sebagai solusi bagi rakyat.(mch)