Oleh : Hasanuddin Atjo *)
TAHUN 2025 merupakan “awan kelabu” bagi sejumlah daerah yang bergantung dana transfer ke Daerah (Dana Perimbangan, DAU, dan DAK), mendukung pembangunan di daerahnya.
Dana transfer ke Sulteng tahun 2025, dipangkas sebesar Rp 257 miliar, dan merupakan satu jumlah yang tidak sedikit, ditengah daerah ini sedang berusaha menurunkan angka kemiskinan dan stunting yang masih tinggi, di atas nasional.
Mau tidak mau Pemerintah daerah harus bekerja keras meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun kualitas belanja pembangunan, serta mencari opsi pembiayaan yang menurut sejumlah kalangan selama ini kurang maksimal dilakukan PAD daerah yang dilintasi garis khatulistiwa ini, dan dilanda bencana gempa, tsunami dan liquifaksi tahun 2018, tercatat sebesar Rp 3,2 triliun pada tahun 2023. Kemudian meningkat menjadi Rp 3,9 triliun pada tahun 2024.
Pendapatan yang lumayan ini dominan berasal dari bantuan dana perimbangan pemerintah pusat sebagai kompensasi eksploitasi sumberdaya alam tambang nikel, gas, dan PLTA serta pajak air permukaan dan kendaraan bermotor.
Sesungguhnya masih banyak sumber PAD yang perlu digali dan dimaksimalkan. Sejumlah aset milik pemerintah daerah yang dikolola oleh Dinas teknis atau UPT Dinas dinilai potensi psebagai sumber PAD apabila dikelola secara profesional.
Dinas kemakmuran antara lain Tanaman Pangan-Hortikultura, Kelautan-Perikanan, maupun Perkebunan-Peternakan, Dinas Pangan dan Kehutanan adalah kelompok dinas yang harusnya berperan ganda meningkatkan kesejahteraan rakyattya dan PAD melalui optimalisasi aset.
Aset-aset itu antara lain Balai Benih, fasilitas untuk kaji terap seperti pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan, laboratorium pengujian mutu dan penyakit yang selanjutnya perlu diformulasikan strategi pemanfaatannya.
Belanja pembangunan harus sudah disesuaikan dengan Visi RPJMD Sulawesi Tengah Maju, Berkelanjutan serta strategi 9 berani. Dimulai berani cerdas, sehat sampai kepada berani panen raya maupun tangkap banyak yang kesemuanya memiliki indikator terukur.
Belanja yang tidak produktif seperti belanja pegawai berupa perjalanan dinas sudah harus dibatasi. Demikian pula halnya dengan rapat koordinasi dan monitoring, evaluasi saatnya menggunakan teknologi yang berbasis digital.
Belanja masyarakat harusnya lebih diperbanyak dan lebih fokus pada pemberdayaan dan transformasi dengan cara dan sasaran efektif dan produktif. Ukuran yang digunakan lebih kepada outcome, mengurangi ukuran output yang selama ini menjadi ciri dan dominan dijumpai.
Kondisi anggaran terbatas menuntut kreatifitas kepala organisasi perangkat daerah (OPD) mencari pembiayaan alternatif, agar target 9 berani yang dibebankan kepadanya mampu direalisasikan.
Sejumlah regulasi terkait opsi pembiyaan yang bisa menjadi referensi antara lain Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) biasa disebut Public Private Partnership (PPP). Pembiayaan kreatif lainnya seperti bundling aset, blendedy finance, joint venture, dan relay financing. Aset aset yang dikelola OPD atau UPT bisa memanfaatkan regulasi pembiayaan kreatif lainnya setelah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Terakhir suksesnya 9 berani ini berpulang kepada kepala OPD yang dituntut memiliki karakter inovatif dan kolaboratif tinggi. Saatnya merubah paradigma yang harus menerapkan prinsip “bekerja bersama-sama bukan lagi sama-sama bekerja”(***)
*) Penulis adalah Dewan Pakar Persatuan Pensiunan Sulawesi Tengah.