
Oleh : Salihudin *)
PAGI sampai siang itu, saya mengarahkan kendaraa menuju dua pusat literasi di Kota Palu: Perpustakaan Kota Palu dan Perpustakaan Universitas Tadulako. Ada misi kecil yang ingin saya tuntaskan—menyerahkan buku karya saya, Menata Masa Depan, Membangun Peradaban, yang terbit pada Agustus 2024 oleh Penerbit Adab Jawa Barat.
Buku ini adalah hasil refleksi atas perjalanan panjang pemikiran dan pengalaman saya dalam memahami pentingnya literasi sebagai fondasi peradaban. Perpustakaan Kota Palu memiliki lokasi yg cukup unik. Ia berdiri di atas bukit dengan akses melalui Jalan Bukit Cina, jalan kecil yang bercabang dari Jalan RE Martadinata. Posisi ini memberikan kesan simbolis—ilmu pengetahuan memang harus diperjuangkan, didaki seperti sebuah puncak yang menjanjikan pandangan lebih luas bagi mereka yang mau mendakinya.
Sementara itu, Perpustakaan Universitas Tadulako terletak di tengah kampus, sebuah lokasi yang strategis untuk menopang atmosfer akademik. Dengan jarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota, perpustakaan ini bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan.
Dalam perjalanan ini, saya kembali merenungkan peran perpustakaan dalam sejarah manusia. Sejak dahulu, peradaban besar selalu bertumpu pada literasi. Ilmu pengetahuan dan gagasan yang terdokumentasi dalam tulisan menjadi bekal bagi kemajuan zaman.
Salah satu bukti sejarah yang paling monumental adalah Perpustakaan Alexandria di Mesir, yang didirikan pada abad ke-3 SM. Konon, perpustakaan ini menyimpan antara 400 ribu hingga 700 ribu gulungan papirus, berisi beragam ilmu pengetahuan yang menjadi rujukan bagi para filsuf dan ilmuwan dari berbagai penjuru dunia.
Dari koleksi-koleksi tersebut, lahirlah banyak pemikiran besar yang membentuk arah perkembangan ilmu pengetahuan. Para filsuf Yunani, ilmuwan Romawi, dan pemikir dari berbagai bangsa lainnya menjadikan Alexandria sebagai sumber inspirasi.
Namun, seperti halnya manusia, perpustakaan pun bisa mengalami kehancuran. Sejarah mencatat bahwa Perpustakaan Alexandria akhirnya musnah, terbakar oleh konflik dan ketidaktahuan. Tetapi gagasan yang tersimpan dalam karya-karya yang pernah ada di sana tetap hidup, diwariskan ke generasi berikutnya melalui tulisan-tulisan yang tersebar ke berbagai belahan dunia.
Peradaban selalu bergerak maju. Dari zaman kuno hingga era modern. Ilmu pengetahuan terus berkembang melalui proses kontinuitas tanpa akhir. Gagasan dan pemikiran yang terdokumentasikan dalam bentuk tulisan, gambar, atau objek tiga dimensi menjadi abadi, meskipun manusia yang menciptakannya memiliki batas usia.
Di sinilah letak ironi dan kebesaran ilmu pengetahuan. Manusia fana, tetapi pemikirannya dapat hidup selamanya.
Perpustakaan Kota Palu mengingatkan saya akan ironi ini. Tepat di depan jalan masuknya, terdapat kompleks kuburan Cina. Keberadaan perpustakaan yang bersebelahan dengan pemakaman seakan menyampaikan pesan yang dalam: manusia akan mati, tetapi gagasan dan pemikirannya bisa tetap hidup melalui tulisan.
Perpustakaan adalah tempat di mana pemikiran masa lalu tetap lestari dan menjadi bekal bagi masa depan.
Menyadari hal ini, saya merasa semakin yakin bahwa literasi adalah kunci utama dalam membangun peradaban. Tidak ada bangsa yg maju tanpa budaya membaca, menulis, dan mendokumentasikan ilmu pengetahuan.
Lihatlah bagaimana Tiongkok saat ini menjelma menjadi kekuatan global dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Negeri ini memiliki sejarah panjang dalam menghargai literasi, mulai dari masa Dinasti Han hingga era modern saat ini. Mereka tidak sekadar membaca dan menulis, tetapi juga menerapkan ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, Kota Palu seakan memiliki dua simbol yang bisa menjadi pengingat bagi kita semua. Di satu sisi, ada Jalan Bukit Cina yang mengarah ke perpustakaan, mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan harus didaki seperti puncak. Di sisi lain, ada kompleks kuburan di seberang jalan. Ini mengingatkan kita bahwa manusia tidak bisa hidup selamanya, tetapi karyanya bisa bertahan melintasi zaman.
Jika ingin membangun peradaban yg maju, kita harus menulis, membaca, dan belajar tanpa henti. Kita harus mendokumentasikan ide dan gagasan, agar pengetahuan terus berkembang dan tidak hilang bersama waktu.
Apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya di Perpustakaan Alexandria harus kita teruskan dalam bentuk yang lebih modern. Perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi juga pusat pemikiran yang dapat menginspirasi perubahan.
Saya berharap buku “Menata Masa Depan, Membangun Peradaban” yang saya serahkan ke dua perpustakaan ini bisa menjadi bagian kecil dari upaya menjaga kesinambungan pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Saya percaya bahwa setiap tulisan memiliki kekuatan untuk membentuk dunia, menginspirasi pembaca, dan membawa perubahan bagi generasi mendatang.
Akhirnya, perjalanan ini bukan hanya tentang menyerahkan buku, tetapi juga ttg merenungkan makna dari literasi dan peradaban.
Kota Palu, dengan perpustakaannya yang berada di atas bukit dan bersebelahan dengan pemakaman, telah memberi saya sebuah refleksi mendalam.
Jika ingin maju, kita harus terus belajar dan menulis. Sebab, hanya dengan cara itulah kita bisa menata masa depan dan membangun peradaban yang lebih baik. Wallahu A’lam.
*) Penulis Buku Menata Masa, Membangun Peradaban.