PALU-Terkait pemberitaan dugaan pemerasan dan/atau penerimaan suap oleh beberapa oknum wartawan, dalam dugaan tindak pidana korupsi proyek jalan di Kecamatan Rio Pakava, kabupaten Donggala, Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Tengah, Mahmud Matangara, bereaksi keras.
Menurut Mahmud, jika dugaan pemerasan dan/atau suap benar terjadi, hal itu masuk perbuatan pidana.
“Itu tindakan kriminal. wartawan adalah profesi mulia. Jangan dirusak. Kerja jurnalistik tidak boleh ada iktikad buruk, tidak boleh menggunakan cara-cara yang tidak etis. Menjadi kacung proyek. Apa yang dilakukan oknum yang mengaku wartawan dengan memeras dan/atau menerima suap bertentangan dengan kode etik jurnalistik, dan tidak masuk ke dalam hukum pers. Tapi itu masuk ke ranah pidana, kriminal,” kata Mahmud, Selasa (04/03/2025).
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 lanjut Mahmud, hanya melindungi wartawan-wartawan yang bekerja secara profesional. Wartawan yang berpedoman pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) harus berintegritas, bertanggung jawab, dan tidak menerima suap.
Dalam Kode Wtik Jurnalistik Pasal 1 mengatur bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Selain itu, Pasal 2 mengatur wartawan Indonesia juga diwajibkan menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Dugaan sekelompok oknum yang mengaku wartawan, kemudian meminta sejumlah uang, terkait dugaan kasus korupsi atau penyimpangan proyek jalan di Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala, menurut Mahmud melanggar KEJ Pasal 2, wartawan Indonesia harus bekerja secara profesional, dan tidak beriktikad buruk sebagaimana diatur dalam Pasal 1.
“Apabila dalam penerimaan uang oleh oknum wartawan ada unsur suap, maka melanggar Pasal 6 KEJ, bahwa wartawan Indonesia tidak menerima suap dalam bekerja,” tegas mantan Ketua PWI Sulawesi Tengah dua periode itu.
Apabila dugaan tersebut benar terjadi, korban pemerasan dapat melaporkan ke kepolisian. Tindakan pemerasan seperti itu, penanganannya menggunakan ketentuan pidana.
“Jika dugaan pemerasan ini ada unsur ancaman secara lisan atau tertulis. Aparat kepolisian bisa menerapkan beberapa pasal yang diatur dalam KUHP seperti Pasal 386 dan pasal 369. Untuk KUHP baru, pemerasan dalam KUHP Baru diatur dalam Pasal 482 dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara,” ujarnya
“Atau pengancaman dalam KUHP Baru diatur dalam Pasal 483 yang ancaman pidananya penjara paling lama 4 tahun,” tambah Mahmud.
Mahmud menerangkan, bahwa pengancaman dan pemerasan merupakan delik aduan. Maka pihak yang merasa menjadi korban harus mebuat laporan polisi.
“Namun karena ini berkaitan dengan pengembangan kasus dugaan tindak pidana korupsi, seharusnya aparat hukum tidak perlu menunggu laporan. Oknum wartawan tersebut dapat disangkakan turut serta dalam dugaan tindak pidana korupsi. Sekali lagi, ini bukan delik hukum pers, tapi murni pidana,” katanya.(abd)