Oleh : Hasanuddin Atjo *)
KERETA api tambahan bergerak perlahan dari stasiun Gambir Jakarta tepat pukul 18.40 WIB, Rabu 25 Desember tahun 2024 menuju salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Waktu tempuh yang diperlukan cukup lama, yaitu sekitar 6 jam. Sementara mata masih melek, meskipun baru saja selesai melakukan perjalanan lumayan panjang yaitu dari Palu menuju Jakarta, transit di Makassar.
Sambil melihat keluar jendela kereta, kondisi kota Jakarta sudah gelap, hanya terlihat gemerlapnya cahaya lampu. Selanjutnya membuka aplikasi Google dan kemudian tertarik membaca sebuah artikel yang menyorot tentang swasembada pangan.
Artikel itu menjadi inspirasi untuk membuat artikel ringan, sebagai catatan akhir tahun membahas salah satu program prioritas kabinet Merah Putih tentang pangan yang pada saat ini sedang ramai dibicarakan.
Sebuah Negara akan maju dan kuat apabila mandiri terhadap penyediaan pangan, energi dan air. Ini menjadi tujuan sejumlah negara yang memiliki potensi sumberdaya untuk cita-cita itu.
Presiden RI terpilih Prabowo Subianto terpanggil, kemudian menetapkan swasembada pangan, energi dan air menjadi salah satu program prioritas, dan termuat dalam Asta Cita (8 cita cita) yang ke 2.
Program prioritas ini kemudian didukung okeh Asta Cita ke 3, melanjutkan pengembangan infrastruktur dan Asta Cita ke 4, pengembangan SDM , Sains dan Teknologi.
Selanjutnya Asta Cita yang ke 5 mengembangkan hilirisasi dan industrialisasi, serta Asta Cita ke 8, terjaganya lingkungan melengkapi strategi itu seperti harapan SDGs 2015 – 2030.
Dengan komposisi seperti itu, sejumlah kalangan menaruh harapan besar bahwa target swasembada pangan mampu direalisasikan sesuai dengan rencana pada akhir tahun 2028.
Bahkan Menteri koordinator Pangan, Mentan serta MenKP memprediksi bahwa capaian swasembada tersebut akan lebih cepat lagi dari perkiraan.
Semangat ini patut mendapat apresiasi dan dukungan.
Semangat dan optimisme tentu penting sebagai satu diantara modal dasar guna mendorong merealisasikan program mulia tersebut yang menjadi harapan masyarakat Indonesia.
Namun dari beberapa diskusi, mengemuka bahwa kiranya pendekatan program ini lebih kepada outcome, tidak lagi berakhir pada output seperti pada program sebelumnya.
Maknanya bahwa pencapaian swasembada pangan mesti diikuti dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan utamanya petani, peternak, pembudidaya ikan dan para nelayan.
Pemerintah menetapkan dua kebijakan guna merealisasikan swasembada yaitu intensifikasi
(Peningkatan produktifitas dan nilai) serta ekstensifikasi yaitu perluasan areal melalui cetak lahan baru untuk peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikuktura, peternakan dan perikanan maupun perkebunan
Sejumlah faktor diperkirakan manjadi kunci keberhasilan program ini. Selain regulasi juga dipengaruhi dukungan infrastruktur, input produksi, pendampingan, pembiayaan dan keterlibatan sektor swasta
Kualitas infrastruktur seperti irigasi untuk pertanian maupun perikanan, jalan produksi, air bersih, listrik PLN, digitalisasi dan telekomunikasi tentunya menjadi satu diantara tuntutan yang harus dipenuhi.
Tidak lagi terjadi cetak sawah sudah selesai, namun irigasi tidak berfungsi sesuai harapan disebabkan sumber air yang terbatas. Olehnya koordinasi dan kualitas perencanaan perlu menjadi pembelajaran.
Ketersedian input produksi seperti benih dan pupuk yang berkualitas dalam jumlah yang cukup, kontinyu, tepat waktu menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya. Teknologi produksi yang update tentunya menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Pendampingan dinilai strategis dalam mencapai swasembada. Penyerahan wewenang kepada kabupaten dan kota menangani penyuluhan pertanian lapangan (PPL) ditengerai jadi salah satu sebab kurang berkembangnya kinerja produksi Pertanian Tanaman Pangan dan Horti, Peternakan dan perkebunan.
Wacana penarikan wewenang pengelolaan PPL (penyuluh pertanian lapangan) kembali
ke Kementrian Pertanian dinilai positif dalam sejumlah diskusi. Diharapkan wacana tersebut kiranya segera direalisasikan agar kinerja pendampingan yang berujung pada produksi sektor ini kembali bisa terlihat.
Langkah yang ditempuh Mentri Pertanian menggandeng TNI dan Polri dinilai membantu upaya percepatan peningkatan produksi pangan maupun nilai. Ini tentunya sifatnya sementara dan diharapkan nantinya ada format baku untuk peningkatan
produksi pangan dalam rangka swasembada, termasuk format pendampingan oleh PPL.
Mempersiapkan SDM Petani dan Nelayan serta Penyuluh agar lebih kompeten menjadi bagian yang dinilai penting, ditengah tuntutan mendesak berkaitan digitalisasi maupun generasi milenial.
Kompetensi penyuluh sudah harus diupgrade, disuaikan dengan tuntutan perubahan yang begitu cepat. Kolaborasi bersama perguruan tinggi dan lembaga riset maupun praktisi meningkatkan kompetensi para penyuluh harus dilakukan.
Dukungan pendanaan menjadi problem yang berkepanjangan. Ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya kepercayaan akan bisnis usaha produksi pangan karena masih tingginya resiko usaha, antara lain disebabkan pengaruh iklim, musim, input produksi dan pasar.
Intervensi Pemerintah berupa bantuan input produksi dan peralatan bagi terwujudnya swasembada untuk tahap awal tentunya masih bisa diterima sebagai triger agar terjadi percepatan. Namun jangka panjang harus diserahkan kepada mekanisme bisnis.
Kedepan, keterlibatan sektor swasta didorong agar lebih dominan berperan menjamin keberlanjutan swasembada pangan. Sejumlah peran yang harus diberikan antara lain penyediaan input produksi, pruduksi, penjamin pasar dan pengembangan hilirisasi serta transformasi inovasi teknologi.
Terakhir, program swasembada yang digagas pemerintah ada baiknya dibuat satu role model berbasis desa yang bisa diukur kinerjanya. Data yang berasal dari Indeks Desa Membangun (IDM) dapat dipergunakan sebagai referensi.
Berdasarkan data IDM status desa terbagi menjadi desa sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju dan desa mandiri. Untuk role model bisa dipilih desa dengan status desa maju dan mandiri.
Role model telah menerapkan metoda produksi pangan yang berbasis peta GIS (Geospatial, Information System), integrasi mekanisasi dan digitalisasi dalam proses produksi serta sistem penyuluhan, informasi dan pemasaran berorientasi digital.
*) Penulis adalah Dewan Pakar Persatuan Pensiunan Indonesia (PPI) Sulteng.