Oleh : Mochtar Marhum *)
SUDAH kurang lebih dua tahun polemik dan dialektika tentang nasab kaum Ba’alawi (Bani Alawi) dan gelar Habib/Habaib menjadi bahan diskusi dan diskursus yang sensitif, hangat dan viral di berbagai ruang publik baik itu di media sosial maupun yang diliput media mainstream.
Melibatkan berbagai kalangan masyarakat mulai dari tokoh-tokoh agama, seniman terkemuka, akademisi, politisi, pemerhati sejarah dan budaya, pakar nasab (ilmu fiqi), pakar Biologi/Ilmu Genetika (DNA), pakar Sejarah dan pakar Filologi, Kajian Lin8guistik yang mengkaji naskah naskah kuno tulisan tangan.
Menarik ikut menyimak dan mengamati perkembangannya serta menilai dan mengambil kesimpulan yang bijak.
Oleh kelompok pendukung kaum Ba’alawi, pihak-pihak yang membela Tesis Kyiai Imaduddin dianggap sebagai pembegal nasab dan sebagai pemecah belah umat serta dituduh kelompok pembenci ulama khususnya dari ulama Kaum Bani Alawi.
Sebaliknya di kelompok pendukun Kyiai Imad mengklaim bahwa mereka adalah kelompok Islam yang ingin membela Zuriyaah Nabi, menjaga Kesucian nama Kanjeng Nabi dan keluarganya dari kelompok yang selalu mengklaim diri mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad tapi belum terkonfirmasi menurut pendekatan ilmiah.
Bahkan disinyalir ada sebagian oknum Habib sering mengklaim diri seolah olah paling suci dan punya keistimewaan sebagai ahlulbait dan perilaku songong mereka dapat dilihat melalui jejak digital dan sejumlah platform media sosial.
Mereka juga menegaskan bahwa mereka sangat menentang keras ceramah ceramah yang mereka anggap banyak yang hanya mengandung dongeng-dongeng khurafat yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Doktrin doktrin dan peraktek perbudakan spiritual menurut mereka harus dihentikan.
Perspektif Sejarah
Pemerintahan Kolonial Belanda dulu pernah menjalankan Politik Pecah Belah atau politik adu domba, divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga diharapkan bisa lebih mudah ditaklukkan.
Di zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, status sosial masyarakat dibagi menjadi 3 tiga tingkatan status sosial menurut UU yang dibuat Pemerintah Kolonial Balanda yaitu terdapat pada pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk nusantara terbagi kedalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: 1.Golongan Eropa 2. Golongan Timur Asing dan 3. Golongan Bumi Putera (Pribumi). Sebagai konsekuensinya, peraturan dalam bidang catatan sipil yang berlaku bagi masing-masing golongan penduduk nusantara.
Yang dimaksud Timur Asing atau Vreemde Oosterlingen adalah warga negara asing yang menjadi penduduk Hindia Belanda pada waktu itu yang memegang paspor dari negara asing non-Eropa, misalnya dari negera-negara Arab, Tiongkok, India, Pakistan, dan lain-lain.
Sejak masa kolonial dulu hingga era milinial kini, ternyata pembagian Kasta dan status sosial oleh pemerintah kolonial Belanda menurut sejumlah netizen di dunia maya dan citizen di dunia nyata dirasakan masih membekas dan mempengaruhi aspek kehidupan religi atau spiritual, sosial, kultural dan politik masyarakat nusantara pada saat itu dan masyarakat Indonesia saat ini.
Terkait dengan perspektif sejarah, telah terjadi migrasi besar besar kelompok komunitas diaspora Hadrami asal Yaman Selatan ke nusantara pada pertengahan abad ke 18 dan awal abad ke 19. Sejumlah jejak digital saat ini bisa diakses dengan muda di dunia maya dengan mengandalkan cyber technology atau teknologi digital.
Sejumlah informasi dan data terpercaya menyebutkan bahwa orang orang Yaman ke Indonesia menumpang kapal milik pemerintah kolonial Belanda karena memang saat itu baru pemerintah kolonial Belanda yang punya alat transportasi laut yang paling canggih di zamannya. Bahkan banyak juga jamaah haji asal Indonesia dulu naik haji masih menggunakan kapal milik Belanda.
Ketika itu Indonesia belum ada tapi masih berbentuk kerajaan kerajaan yang wilayahnya tersebar luas ke seluruh wilayah nusantara hingga Asia Tenggara.
Mungkin harus diakui kenyataan bahwa dulu kayaknya belum banyak literatur, referensi dan jejak digital yang menjadi sumber tulisan tentang migrasi dan diaspora warga keturunan Hadrami Yaman ke Asia Tenggara seperti ke Tamasek, dikutip dari buku China Now oleh Graham dan Lam (2013:349), kata “Temasek” adalah nama Singapura dalam bahasa Jawa kuno, ke Malaysia, Brunei, Filipina dan ke Indonesia, dulu nusantara.
Namun, sejak era digital di zaman milenial dan era generasi Z sumber-sumber terpercaya dan jejak digital informasi apa saja termasuk rekam jejak sejarah bisa diakses dengan mudah melalui internet dan perangkat komputer dan gadget atau smart phone secara relatif lebih mudah dan mudah.
Terdapat sejumlah kajian sejarah tentang migrasi bangsa-bangsa asal timur tengah dan hubungan internasional yang telah ditulis oleh sejumlah pakar sejarah dan pakar hubungan internasional dari Belanda, Australia dan Indonesia. Yaman adalah satu-satunya negara republik di jazirah Arab yang dulunya juga pernah berbentuk kerajaan.
Awal abad ke 19 wilayah Yaman terbagi menjadi wilayah kekuasaan pemerintahan kolonial Inggris (British Empire) dan wilayah kekuasaan Khilafah Ustmaniyah (Ottoman Empire).
Tahun 1918 Khilafah Ustmaniyah meninggalkan Yaman alias hengkang kaki dan kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan kolonial Inggris sampai tahun 1967.
Sebelumnya wilayah Yaman terbagi menjadi Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dan pada tahun 1990 Yaman Utara dan Yaman Selatan bergabung menjadi Republik Yaman.
Laporan Badan Inteljen Amerika CIA pada tahun 2010 sebelum terjadi Revolusi Arab (Arab Spring) terdapat 65 persen warga Yaman merupakan penganut Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) dan 34 persen penaganut Syiah. Dan 1 persen terdiri dari Yahudi, Bahai, Hindu, dan Kristen.
Namun sejak tahun 1990an ketika masuknya ajaran Salafi dan Wahabi, yang dibawa seorang tokoh ulama ke Yaman bagian utara telah terjadi perubahan.
Unifikasi atau penyatuan Yaman Utara dan Yaman Selatan yang tidak berjalan mulus karena terus terjadi pergolakan ekonomi dan politik hingga tahun 1994 terjadi perang saudara.
Yaman Selatan dulu pernah punya Afiliasi ideologi politik dengan Uni Soviet dan banyak mendapat bantuan dari negara raksasa rivalnya Amerika dan sekutu barat. Negara Yaman dulu juga sempat mendapat pengaruh kuat ajaran Marxisme. Yaman Selatan diakui sebagai negara Marxis tahun 1969-1970 dan mengganti nama menjadi Republik Demokratik Rakyat Yaman, tapi tidak berlangsung lama hingga akhirnya menjadi negara Islam sepenuhnya.
Yaman Selatan salah satu dari dua negara Arab yang pernah menjadi negara Komunis tahun 1969 sampai tahun 1970 di bawa pengaruh Uni Soviet waktu itu. Negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya yang juga ada partai Komunisnya yaitu Libanon dan Afghanistan. Yang terakhir sempat jadi negara komunis.
Krisis Yaman secara kronologis dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebelum fenomena Arab Spring (Revolusi Arab) dan setelah Arab Spring. Arab Spring merupakan gelombang gerakan revolusioner yang pertama kali dikenal di Tunisia pada Desember 2010. Fenomena Arab Spring atau revolusi Arab pada perkembangannya memperburuk kondisi krisis di Yaman pada sekitar tahun 2011 hingga saat ini.
Terjadinya Revolusi Arab atau Arab Spring menjadi kesempatan kelompok pejuang Houti di Utara Yaman yang lama termarjinal dan merasa dianaktirikan. Mereka awalnya ikut dalam demonstrasi anti pemerintah dan akhirnya melakukan pemerontakan dan mengambilalihan pemerintahan yang sah.
Al Houthi atau Ansarullah menguasai pemerintah Yaman Utara dan mengumumkan pembubaran parlemen, serta pembentukan”dewan presiden”, “dewan nasional transisi”, dan “dewan revolusioner tertinggi” untuk memerintah negara untuk periode sementara.
Kelompok Al Houthi adalah penganut Syi’a Zaidiyah yang banyak di Yaman. Syi’ah Zaidiyah oleh sejumlah pakar disebutkan ajarannya agak mirip dengan Islam Sunni (Alhlus Sunnah Waljamaah). Pejuang Al Houthi dibacking oleh Republik Islam Iran dan sekutunya.
Pejuang Al-Houthi diakui oleh Nakoba Internasional, pencatat Nasab Keturunan Nabi, Dzurriyah Nabi Muhammad, mereka memiliki nasab tersambung kepada Rasulullah melalui Sayyidah Fathimah Az-Zahra radhiyallahu’anha.
Pemerintahan yang sah dan diakui dunia adalah penganut Sunni yang dibacking oleh Saudi Arabia dan sekutunya dan proxy Amerika dan sekutunya. Perang saudara di Yaman sudah berlangsung kurang lebih sebelas tahun.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terakhir memproyeksikan bahwa korban tewas dari perang Yaman mencapai 377.000 pada akhir tahun 2021, termasuk mereka yang terbunuh sebagai akibat dari penyebab langsung dan tidak langsung.
Ada sebuah buku yang ditulis oleh Hendri F Isnaeni berjudul Sejarah Kedatangan Imigran Arab Asal Hadramaut (Hadrami) ke Nusantara (Indonesia), buku terbitan tahun 2015.
Dalam buku itu banyak dikutip temuan hasil riset seorang akademisi bernama Natalie Monie Kasheh dari Monash Unisversity Melborne Australia yang pernah menulis buku tentang kebangkitan warga keturunan Arab Hadramaut Yaman (Hadrami) di Indonesia. Dia juga pernah menulis artikel tentang kedatangan warga Hadrami ke Nusantara untuk berniaga dan syiar agama.
Lebih lanjut menurut Monie, orang Hadrami dikenal sejak dahulu kala sebagai pelaut dan pedagang. Warga Hadrami mirip bangsa Phoenicia yang sekarang dikenal sebagai bangsa Libanon dan Suriah.
Rute perdagangan orang Hadrami ke Nusantara diperkirakan dimulai sejak abad ke tujuh. Mereka berniaga dengan membeli sejumlah komoditas di nusantara dan kembali dijual di tempat lain.
Pakar sejarah dan hubungan internasional lainnya menyebutkan bahwa migrasi Hadrami ke Nusantara diakibatkan situasi politik dan keamanan di Yaman pada saat itu kurang stabil sering terjadi konflik.
Migrasi ke Wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara dan Nusantara dimulai dari kalangan Sayyid Alawiyin, Keturunan Nabi Muhammad (dari garis keturunan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib).
Alawiyyin adalah sebutan yang merujuk kepada keturunan Imam Al Arif billah Asy Syarif Alawi bin Ubaidillah bin Al Imam Ahmad Al Muhajir, keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut Profesor Sumanto Alqurtubi (2018), seorang dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petrolium Saudi Arabia, Yaman (nama resminya: Republik Yaman atau al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah) yang terletak di Asia Barat dan Semanjung Arabia ini dikenal sebagai “negeri para habib dan sayyid” dan leluhur sebagian komunitas Arab Muslim di Indonesia. Banyak umat Islam di Indonesia bahkan mengelu-elukan komunitas sadah (kaum habib dan sayyid) ini karena dianggap sebagai “keturunan” Nabi Muhammad.
Pernyataan tersebut di atas juga diamini oleh Hikmawan Saifullah, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Bandung yang juga seorang akademisi keturunan Hadrami Yaman yang telah banyak melakukan penelitian dan publikasi tentang migrasi bangsa Arab keturunan Hadrami di Nusantara.
Beliau katakan bahwa pada abad ke 8 dan ke 9 di masa Dinasti Rezim Umayah dan Abasyia, kalangan Sayyid menjadi target pembunuhan karena dikhawatirkan oleh Rezim saat itu mereka bisa menjadi ancaman politik.
Akibat terus menjadi target dan intimidasi akhirnya kalangan Syahid Alawyin berimigrasi ke beberapa wilayah seperti ke wilayah sekitar laut merah, Afrika, Parsia (Iran), India dan Asia Tenggara termasuk ke wilayah nusantara yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia.
LWC Van Den Berg seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda pada saat itu menyebutkan bahwa ada juga bangsa Arab dari Makka dan wilayah Arab lainnya datang ke Nusantara tapi mereka hanya datang sebentar terkait urusan ibadah Haji dan donasi atau sumbangan untuk umat tapi mereka tidak menetap di nusatara, mereka kemudian kembali Makkah.
Orang Arab yang tinggal dan menetap pada saat itu hanyalah bangsa Arab keturunan Hadrami (Hadramaut) Yaman.
Hingga saat ini warga keturunan Arab Hadrami bisa ditemukan hampir seluruh wilayah NKRI mulai dari Provinsi Aceh sampai wilayah Provinsi Papua.
Bahkan juga sampai di wilayah Provinsi Timor Timor Leste yang kini telah berpisah dengan NKRI dan pernah memiliki Kepala Pemerintahan Pertama (Perdana Menteri) yaitu Mar’i Alkairi, warga keturunan Arab Hadrami.
Tapi ada juga versi lain menyebutkan bahwa warga keturunan Hadrami di Timor Timor dulunya dibawa oleh pemerintahan Kolonial Portugis ke Timor Timor karena dulunya Timor Timor pernah dijajah Portugis dan bangsa Protugis yang membawa warga keturunan Hadrami dari negara bekas ajajahannya di Afrika ke Timor Timor.
Sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis keturunan Hadrami berjudul Identitas Arab Itu Ilusi: Kritik Atas Otokritik, Saya Habib Saya Indonesia. Buku ini termasuk masih baru karena terbit tanggal 13 Mei 2022. Buku yang diterbitkan di Amsterdam Belanda ini juga telah terbit di banyak negara.
Dalam buku tersebut disinggung peran dan dominasi minoritas (Dominant Minorities), disebutkan jumlah warga keturunan Arab Hadrami jumlahnya minoritas tapi punya peranan yang sangat dominan. Warga Keturunan Arab Yaman (Hadrami) di Indonesia punya peranan yang sangat penting dan signifikan.
Warga keturunan Arab Hadrami diperkirakan hanya berjumlah 0,04% tapi punya peranan dan pengaruh yang cukup dominan. Mereka banyak yang memegang posisi penting dalam berbagai bidang mulai dari aspek agama, pendidikan, seni, politik, pemerintahan dan wirausaha atau bisnis.
Keterlibatan warga keturunan Hadrami Yaman mulai dari perjuangan kemerdekaan hinggi Era kemerdekaan telah tercatat dalam sejarah Indonesia.
Juga sejumlah jabatan penting setingkat pejabat tinggi negara, mentri kabinet, Kepala daerah, Akademisi, Politisi dan apalagi posisi sebagai tokoh agama, ulama dan penceramah kondang juga tidak terhitung jumlahnya, banyak dari latar belakang warga keturunan Arab Hadrami Yaman.
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang lalu juga diwarnai dengan hadirnya figur kandidat Capres Anis Baswedan seorang intelektual Indonesia keturunan Arab Hadrami (Yaman) dari kalangan marga Non-Ba-alawi tapi dianggap seorang tokoh Indonesia yang sangat terpelajar. Beliau mantan Mentri Dikbud, Gubernur DKI dan Rektor Universitas Paramadina Jakarta. Satu satunya Capres dari background akademisi jebolan Amerika Program S3 (PhD) dan S2 (Masters) dari Northern Illinois University.
Antara Nasab dan Nasib
Sudah kurang lebih dua tahun telah terjadi polemik di kalangan umat Muslim Indonesia terkait Nasab Bani Alawi (Ba’alawi) keturunan imigran Yaman yang sering disapa atau dipanggil dengan gelar terhormat yaitu Habib (Tunggal) dan Habaib (Jamak).
Polemik nasab ini bahkan telah sampai ke negeri jiran Malaysia dan di sana mereka juga mulai mengangkat dan membahas polemik nasab bani alawi, banyak rekam jejak digital bisa di lihat di sejumlah platform media sosial.
Awal kekisruhan ini bermula ketika kelompok keturunan Walisongo yang tergabung dalam paguyuban organisasi PWI (Pencinta Walisongo Indonesia) merasa diremehkan dan tidak dihargai. Kelompom keturunan Walisongo khususnya di Pulau Jawa merasa dirugikan karena diduga kelompok bani alawi menganggap tidak ada keturunan Walisongo dan mereka pernah katakan bahwa nasab walisongo terputus karena diduga hanya dari garis keturunan ibu.
Juga keluarga keturunan Walisongo keberatan karena ada indikasi kelompok bani alawi telah memasukkan nasab Walisongo sebagai keturunan Bani Alawi (Ba’alawi) bahkan sudah di muat dalam buku. Mereka menganggap Walisongo sebagai keturunan Bani Alawi asal Yaman tapi ironisnya mereka justru tidak mengakui keturunan Walisongo yang ada di Indonesia.
Keturunan Walisongo juga curiga pada perilaku sejumlah oknum yang bergelar Habib tapi sering dianggap memiliki temparamen agresif dan sering mencaci maki.
Juga oknum Habib tersebut pernah teriak teriak mengatakan di dalam tubuhnya mengalir darah nabi. Dan selalu mengklaim sebagai keturunan nabi. Lebih tidak pantas lagi ketika diucapkan di ruangan persidangan beberapa waktu yang lalu.
Perilaku mereka ini dianggap arogan dan jauh dari sikap dan perilaku yang diajarkan baginda Nabi tercinta Muhammad SAW. yang selalu jadi contoh panutan dan tauladan oleh umat Muslim. Nabi selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap Tawaddu.
Itulah sebabnya Kyiai Imadnuddin jebolan Program Sarjana dan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Alquran melakukan penelitian tentang nasab para habaib dan akhirnya juga dibantu oleh sekelompok pakar yang ahli di bidangnya termasuk Prof. Menahen Ali ahli Filologi mengkaji naskah naskah Kuno, Dr. Sugeng Ahli DNA dari BRIN dan Prof. Anhar Gonggong.
Sejumlah pengurus organisasi PWI menganggap kalangan Habaib telah memba’alawikan Walisongo tapi tidak sesuai fakta dan kenyataan menurut sejarah Islam dan berdasarkan keterangan dan bukti rekam jejak sejarah.
Mereka juga telah mengklaim sejumlah tokoh-tokoh penting dan pahlawan nasional di nusantara atau di Indonesia merupakan keturunan Bani Alawi (Ba’alawi) termasuk Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien.
Dan yang terakhir heboh dan viral yaitu dugaan kasus pemalsuan makam termasuk makam Raden Tumenggung Sumodiningrat (Panglima HB II) dan kasus ini juga diklarifikasi oleh cucu buyut beliau di podcastnya bang Haji Rhoma Irama.
Juga yang diprotes belum lama ini oleh PB NU yaitu adanya upayah pembelokkan Sejarah berdirinya NU. Mereka juga mengklaim sejumlah Habib punya peran dalam sejarah perjuangan kemerdekaan pernah disebut satu persatu seperti ide membuat bendera merah putih, lambang negara burung garuda dan lagu perjuangan kemerdekaan juga diklaim oleh mereka tapi akhirnya dikonter dan dibantah oleh ahli sejarah Prof. Anhar Gonggong waktu diskusi dan seminar di BRIN beberapa waktu lalu yang juga sempat viral di media.
Semua klaim dan indikasi pembelokan Sejarah Indonesia dan sejumlah temuan upaya pemalsuan makam orang orang penting juga telah diluruskan oleh pakar ahlu Sejarah Prof. Anhar Gonggong
Padahal dalam banyak catatan sejarah Walisongo nenek moyangnya bukan dari Yaman tapi ada yang berasal dari Hijaz Saudi Arabia kemudin hijrah ke Maroko (Magribi), lalu ke Samarkhan, Uzbekistan, kemudian ke Champa Kamboja dan akhirnya ke pulau Jawa di Nusantara.
Hampir semua keturunan dari klan Walisongo saat ini menentang adanya klaim bahwa Walisongo keturunan Bani Alawi asal Yaman.
Klan keturunan Walisongo yang ada di Indonesia merasa dirugikan dengan adanya klaim bahwa Walisongo adalah keturunan Bani Alawi. Justru mereka lebih berkeberatan ketika klan Ba’alawi mengklaim bahwa tidak ada keturunan Walisongo di Indonesia.
Nah dari sinilah awal mula berkembang polemik dan dialektika terkait nasab. Akhirnya sejumlah pakar dan simpatisan melakukan penelusuran dan kajian ilmiah antara lain kajian kitab Sezaman oleh Kiyai Imad yang dimulai dari kitab sezaman abad ke 4 sampai abad ke 9 baik itu sumber internal maupun sumber eksternal tapi tidak ditemukan data atau informasi yang akurat.
Ada juga ditemukan kitab yang beredar dan dimiliki oleh kalangan mereka dan simpatisan atau muhibinnya tapi setelah ditelusuri ternyata kitab yang dibuat belakangan setelah abad ke 8. Setelah ditelusuri, ternyata bukan naskah kuno yang terbit sebelum abad ke 8 tapi ternyata hanyalah trik seolah-olah naskah kuno yang terbit pada era yang dimaksud.
Para pakar berpendapat bahwa seharusnya ada kitab sezaman yang menulis tentang Ubaidillah (Ubed) Al Muhajirin yang diklaim oleh Klan Baalawi sebagai nenek moyang mereka yang hijrah dari Irak ke Yaman.
Namun, klaim terbaru dari hasil penelitian kubu kelompok Kiyai Imad dan para Pencinta Walisongo berbeda, mereka mengatakan bahwa nenek moyang Ba’alawi tidak pernah hijrah ke Yaman ini berdasarkan kajian dari berbagai disiplin ilmu terkait.
Mereka justru heran dan bertanyanya masa tidak ditemukan kitab sezaman apalagi di masa itualah Daulah Abbasyiah era kepemimpinan Islam masuk masa kejayaan ilmu pengetahuan (Islamic Golden Age), saat itu Islam diakui maju dalam bidang ilmu pengetahuan di mana Eropa saat itu masih mengalami masa kegelapan (dark age).
Selama ini hampir dua tahun polemik yang membahas tentang nasab keturunan Nabi. Tapi selama ini kaum bani Alawi dan pendukungnya belum mampu menjawab 12 pertanyaan dari kelompok keturunan Walisongo yang tergabung di organisasi Panguyuban Walisongo Indonesia (PWI). Menanyakan hasil kajian ilmiah yang dilakukan sejumlah pakar termasuk dari perguruan tinggi, Badan Riset (BRIN) dan sejumlah ulama terkenal.
Kelompok Bani Alawi yang tergabung dalam organisasi Rabitho Alawiyah selama ini belum mampu menjawab secara ilmiah tentang keabsahan nasab mereka yang ditemukan ternyata nasab mereka tidak nyambung ke nasab kanjeng nabi alias mereka bukan Zuriiat Nabi.
Kajian dilakukan melalui kajian sejarah, kajian naskah naskah kuno, kajianTes DNA dan semua dengan temuan dan kesimpulan bahwa Bani Alawi yang ada di Indonesia bukan keturunan Nabi.
Pihak Bani Alawi dan pendukungnya selalu mengkounter atau menolak temuan tsb tidak secara ilmiah tapi justru dgn cara memfitnah dan mencaci maki dan membuat tuduhan macam macam yg justru tdk punya dasar ilmiah .
Prof. Menachen Ali, mantan pendeta yang jadi mualaf, menguasai depan bahasa termasuk bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Inggris, bahasa Francis, Jerman, Belanda, bahasa Jawa, bahasa Madura dll. Prof. Menachen Ali dan juga Doktor Sugeng ahli DNA serta pakar sejarah Prof. Anhar Gonggong juga telah terlibat mengkaji nasab keturunan Bani Alawi yang hasil kajiannya ternyata nasabnya tidak nyambung ke nasab kanjeng Nabi.
Kajian kitab sezaman menggunakan naskah naskah atau kitab kitab kuno juga tidak ditemukan nenek Bani Alawi, Ubaidillah padahal padahal masa itu masa kejayaan islam di masa Pemerintahan Dinasti Abasyia yg terkenal kemajuan ilmu pengetahuan. Masa tidak ada satupun kitab atau buku tentang Ubaidilllah (Ubed) nenek kaum Bani Alawi.
Masa selama 500 tahun sejak abad ke 4 sampai abad ke 9 tidak ditemukan naskah sezaman tentang Ubaidillab (Ubed) kakek dari kaum Bani Alawi. Nanti Abad ke 9 baru ada kitab yg ditulis oleh kalangan yang terindikasi berafiliasi dengan Bani Alawi. Kitab itu dianggap agak bias dan kurang reliable karena ditulis oleh kaum mereka sendiri dan tidak ada naskah atau kitab pembanding sebagai dokumen eksternal semacam triangualition dalam pendekatan kualitatif dan semacam validitas dan reliablas dlm pendekatan kuantitatif.
Manarik penjelelasan Prof. Menachen Ali, Guru Besar Ilmu Filologi, salah satu cabang ilmu bahasa (Linguistik) yang mengkaji tulisan naskah-naskah Kuno), dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Beliau mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sugeng Sugiharto peneliti Kajian DNA dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kajiannya belum lama ini ramai dibahas di sejumlah media terkait nasab dan penguatan Hasil tes DNA, sebuah Kajian yang menjelaskan nasab keturunan Nabi Muhammad dan keturunan Nabi Ismail yang berHaplo Grup J.
Oleh ahli Genetika, mereka dikelompokkan sebagai kaum keturunan Bani Hasyim dari suku Quraish, Keturunan Nabi Muhammad dan juga termasuk Imam Ali sepupu, satu kalinya Kanjeng Nabi. Suku Quraisy adalah suku bangsa Arab keturunan Ibrahim, yang menetap di kota Mekkah dan daerah sekitarnya. Menurut Prof. Menachen Ali Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Nabi Ismail yang disebut Arab Adnaniyah.
Hasil Tes DNA di Family Tree ditemukan bahwa kebanyakan Bani Alawi (Ba’alawi) dari Hasil tes DNA ber Hablo Grup G.
Oleh sejumlah pakar yang pernah melakukan penelitian berkesimpulan bahwa kaum Bani Alawi bukan dari suku Quraish dan berarti mereka bukan keturunan Nabi Ismail jadi mereka bukan keturunan Nabi Muhammad karena berdasarkan hasil penelitian dan kajian Genetika, tes DNA dari sekitar 180 lebih keturunan bani alawi baik yang di Yaman maupun juga yang di Indonesia hasil tes DNA mereka berhaplo group G kelompok DNA yang terindikasi sama dengan bangsa Khazar Caucasian yang dari dekat Turki, bangsa Khazar adalah orang-orang Turki setengah nomaden dari Asia Tengah. Nenek moyang mereka migrasi ke Yaman ratusan tahun lalu dan akhirnya beranak pinak di sana kemudian diakui sebagai orang Yaman.
Mereka banyak yang menderita di negaranya leluhurnya dulu karena sering terjadi konflik dan perang saudara sehingga menimbulkan masalah sosial dan krisis kemanusian.
Namun ada juga yang berpendapat beda dan mengatakan bahwa kaum bani alawi nenek Moyangnya berasal dari Parsia yang sekarang dikenal dengan Republik Islam Iran.
Keturunan Bani Hashim asal Hijaz Makkah dan Madina punya DNA berhaplo Grup J. Jadi semua orang Arab atau keturunannya yang punya DNA berhaplo grup J dan nasabnya tersambung ke Nabi Muhammad juga dikuatkan keterangan dari Nakoba Internasional Lembaga pencatat Nasab dari luar negeri seperti dari Irak, Yaman, Mesir Jordania dari Saudi Arabia.
Bukan hanya pengakuan dari Rabito Alawyia tempat berhimpunnya keturunan Habib asal Yaman yang ada di Indonesia. Rabito Alawyia konon dibentuk di Jakarta di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Orang yang paling bertakwa merupakan yang paling mulia di sisi Allah SWT. Ibnu Katsir menambahkan dalam tafsirnya, Allah SWT tidak melihat kemuliaan seorang manusia berdasarkan keturunannya. “Hanya saja kemudian mereka itu bertingkat-tingkat jika dilihat dari sisi-sisi keagamaan, yaitu ketaatan kepada Allah Ta’ala dan kepatuhan mereka kepada rasul-Nya.
Rasulullah SAW tegas tegakkan keadilan sekalipun untuk putrinya, Fatimah. Rasulullah SAW memaknai siapapun yang bersalah maka harus menjalani proses hukum. Bahkan jika itu menyangkut putrinya, Fatimah sekalipun.
*) Penulis adalah akademisi Universitas Tadulako Palu. Pengajar mata kuliah 1. Pemahaman Lintas Budaya (Cross Culture Understanding), 2. Terjemahan dan Tafsir (Taranslation and Interpretation), 3. Bahasa Inggris untuk Jurnalistik (English for Journalism). Penulis juga seorang kolumnis, pegiat literasi digital dan media sosial. Penulis buku “Language, Culture and Education in Eastern Indonesia” diterbitkan oleh Lambert Academic Publishing di Jerman. Alumni Masters (1998) dan PhD (2006) dari Fakultas Pendidikan, Humaniora, Hukum dan Agama (Faculty of Education, Humanities, Law and Theology), Flinders University Australia.