PALU-Penarikan pajak oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, untuk Restoran dan Rumah Makan (RM), dinilai sangat memberatkan bagi pemilik Rumah Makan di Kota Palu.
Sebab, sangat tidak rasional karena terkesan di paksakan, sementara pihak Restoran dan Rumah Makan tetap melaksanakan kewajibannya dengan membayar pajak setiap tahunnya kepada pemerintah.
Keberatan para pedagang yang bekecimpung di dunia kuliner, diungkap Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kuliner (Aspek) Sulteng, Bino A. Juwarno, SH., MKN.
Kepada wartawan saat ditemui di bilangan jalan Rajamoili, Kota Palu, Rabu 7 Februari 2014, pria asal pulau Jawa yang biasa disapa Beno ini mengatakan, pihaknya sangat merasa berat dengan pajak yang diterapkan Pemkot yang nilainya cukup fantastik mencapai angka 10 persen dari sebelumnya hanya 3 persen.
Kata Beno, bahkan saat Pemkot Palu melakukan sosialisasi tidak mengundang pihak Aspek Sulteng terlebih dulu untuk membicarakan bagaimana baiknya sehingga para pedagang kuliner di Kota Palu tidak merasa terbeban dengan pajak yang mencekik leher tersebut.
“Terkait Pemerintah (Pemkot Palu, red) yang menerapkan pajak kuliner 10 persen tentu mengagetkan bagi kami seluruh pedagang kuliner di kota Palu,” tandasnya.
Kenapa kata dia, karena pajak tersebut cukup tinggi dari sebelumnya yang hanya 3 persen hingga 6 persen, sehinga bagi mereka hal itu sama seperti pukulan telak yang bisa membuat pedagang kuliner di Kota Palu guling tikar alias bangkrut.
“Pajak 10 persen bagi kami bukan saja berat namun ini akan berdampak luas bagi perekonomian di Kota Palu, baik itu terhadap pedagang, pemberi maupun pasar-pasar lainnya,” ujarnya.
Ketika itu diterapkan oleh pemerintah lanjut dia, maka sangat berpengaruh pada pendapatan atau omset-omset yang didapatkan oleh pedagang-pedagang kuliner yang makin hari makin mengalami penurunan karena daya beli masyarakat yang juga mengalami penurunan drastis.
Belum lagi lanjut dia, harga-harga di pasaran yang terus mengalami kenaikan, sehingga sangat tidak rasional bagi pemerintah untuk membebankan para pedagang kuliner dengan mengharuskan membayar pajak retribusi kuliner di Kota Palu.
“Saya kira ini merupakan momen yang tidak tepat bagi pemerintah untuk menaikan pajak kuliner 10 persen,” tuturnya.
Untuk itu Beno meminta kepada Pemkot Palu agar mengkaji ulang kebijakan tersebut sehingga tidak memberatkan bagi pedagang kuliner di Kota Palu.
Pasalnya, kata dia, dalam memberi kebikan terutama penarikan pajak harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama para pedagang kuliner seperti “Mas Joko” yang mengais rejeki dikala kondisi ekonomi Indonesia yang tidak menentu.
“Yang paling penting adalah, pemerintah harus memanggil atau mengundang Asosiasi untuk meminta pertimbangan terkait kebijakan kebijakan apalagi soal ekonomi seperti ini. Mestinya, Pemkot mengundang Asosiasi untuk dimintai pertimbangan terkait pajak yang proposional sehingga tidak menjadi persoalan baru seperti ini,” tandasnya.
Kebijakan Pemkot Palu yang menaikan pajak kuliner sebesar 10 persen lanjut Beno, sangat meresahkan para pedagang kuliner di Kota Palu. Karena cara Pemkot Palu dalam melakukan sosialisasi tentang pajak kuliner tesebut tidak humanis.
Bahkan tambah dia, sosialisasi tersebut terkesan mengintimidasi dengan mendatangi langsung pedagang kuliner setiap harinya. Bahkan sampai mengeluarkan ancaman yang membuat nyali para pedagang menciut.
“Mereka datang dengan aparat baik kepolisian maupun Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang jumlahnya mulai dari 10 hingga 15 orang. Mereka mendata dan ada kesan mengintimidasi jika tidak melaksanakan pajak tersebut, makan usaha tersebut akan ditutup,” urainya.
Menurutnya, para pedagang kuliner Kota Palu telah siap melakukan aksi turun ke jalan untuk melakukan demo besar-besaran yang memimta kepada Pemkot Palu, agar membatalkan pungutan pajak yang dinilai mencekik leher.Baik sebelum maupun sesudah melakukan sosialisasi, pihak Asosiasi tidak pernah diajak untuk duduk bersama guna membahas penarikan pajak yang 10 persen tersebut.(lam)