Menelisik Proyek Strategis Nasional, Bendungan Rp 212 Miliar di Lampasio

80
BELUM 100 PERSEN : Pembangunan saluran bendungan Lampsio yang tidak selesai, di kawasan Kompi-Janja. Belum berfungsi, fisik sudah tampak rusak.(FOTO : AHMAD HAMDANI/KABAR68)

Belum Berfungsi Sudah Retak, Ada Saluran “Gho..ib” di Kompi-Janja

TOLITOLI-Presiden Jokowi, biasanya agak ceriwis di layar kaca, itu jika ia dapat bisikan ada proyek strategis nasioal kurang beres di daerah. Dan bisa jadi lebih murka jika melihat realisasi proyek Bendungan di Kecamatan Lampasio, Kabupaten Tolitoli, tidak sesuai harapan. Seperti apa realisasinya?

Menuju Desa Salugan dan Janja, Kecamatan Lampasio dari Ibukota Kabupaten Tolitoli ditempuh dengan jarak kurang lebih 50 kilometer atau 1 jam lebih, medannya sedikit menantang dengan aroma pedesaan warga transmigrasi asal Jawa Timur, Tengah, Barat serta Bali.

Sesampainya di Kecamatan Lampasio, nampak jelas hamparan lahan bekas persawahan membentang luas, sebagian ditanami sawit, jagung, buah jeruk dan beberapa komoditas lain yang juga kurang bergairah, dan sebagian lagi dibiarkan tertidur atau sekadar menjadi lahan tadah hujan. Selain itu, Lampasio juga terkenal sebagai lumbung buaya, di rawa dan lahan tadah hujan. Beberapa kasus buaya makan orang bahkan sering terjadi.

Luas lahan persawahan di Kecamatan Lampasiom berdasarkan data pertanian seluas 3.500 hektare. Petani mengaku, sebelum ada proyek strategis nasional bendungan, mereka rutin menggarap sawah dengan sistem sawah tadah hujan. Namun disayangkan, semenjak bendungan dibangun pada 2017 silam hingga 2023, sawah malah tidak produktif. Selain karena tanahnya gambut, aliran air untuk sawah sangat minus, menunggu hujan juga tidak
seberapa.

“Sudah lama kami tidak menggarap sawah, kurang lebih 6 tahun. Kalaupun ada yang menggarap sawah, itu di tanah yang bukan lahan gambut, saat ini hanya 30 hektare yang digarap petani,” ungkap I Made Swarta, anggota Poktan Sumber Karya.

Ia mengaku, dari 30 ha sawah yang digarap saat ini, petani terpaksa membangun saluran sederhana secara swadaya selama beberapa bulan, lantaran bendungan belum juga difungsikan.

“Ya kalau gak gitu, mati sawah kami pak, kami sendiri, iya swadaya,” tutur Made diamini ratusan petani lainnya sembari menggerutu soal mahalnya harga pupuk non subsidi, sementara pupuk bersubsidi sulit diperoleh.

Langsung “turun gunung” melihat realisasi proyek di Lampasio, Wakil Ketua DPRD Jemmy Yusuf sontak mengernyitkan dahi, menyeka peluh tanda prihatin.

“Ckckckck, ternyata realisasinya seperti ini, pembangunan irigasi untuk saluran dari Kompi menuju Desa Janja kemana? Kok Tidak selesai,” ungkap Jemmy menyayangkan.

Selain mengambil bukti dokumentasi serta catatan panjang dari sidak yang dilakukannya, Jemmy berjanji akan menindaklanjuti dan menyampaikan pula persoalan ini ke Gubernur Sulteng di Palu.

“Kami di DPRD, akan segera menghadap gubernur, menyampaikan fakta yang ada. Dan ini harus segera ditindaklanjuti Balai Wilayah Sungai (BWS) III Sulawesi, jangan sampai berlarut-larut,” janjinya.

Wakil rakyat yang juga anggota komunitas vespa ini menganalisa, jika pembangunan irigasi Kompi-Janja dibangun segera, maka diharapkan petani Lampasio bisa melalukan penanaman padi di masa tanam April hingga September 2024. Sebaliknya, jika belum terealisasi maka produktifitas sawah seluas 1700 hektare akan semakin lama tidur, alias makin tidak produktif.

Selain itu, dalam hitungannya, Jemmy berasumsi jika bendungan benar-benar telah difungsikan, maka 3.500 total luas lahan persawahan di Kecamatan Lampasio akan terailiri air, maka hasil produksi sawah bisa mencapai 6.000 ton untuk satu kali musim tanam, jika dikali 2 kali musim tanam maka hasilnya 12.000 ton. Nah, jika dikalikan harga beras rerata Rp 10 ribu per kilogram, maka nilai ekonomis yang dihasilkan bisa mencapai Rp 120 miliar.

“Dan bisa jadi Lampasio akan menjadi daerah paling terluas lahan sawahnya, paling tinggi produksinya, dan otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani. Tetapi, nyatanya pembangunan saat ini apa ?, karena itu kami terus berupaya mendorong pemerintah dan khususnya BWS agar bendungan difungsikan, termasuk menyelesaikan irigasi Kompi-Janja sepanjang 10 kilometer,” harapnya.

Terpisah, Ketua Lakpesdam NU Tolitoli Fahrul Baramuli mengaku prihatin atas realisasi pembangunan proyek Bendungan Lampasio, yang saat ini sudah mulai rusak, khususnya di pintu BSS Kompi-Janja.

Di lokasi ini, selain bangunan fisik tidak terbanguan, fisik bangunan pintu irigasi mulai retak dan pecah-pecah, belum lagi tingkat kerusakan di sisi lainnya akibat banyaknya gulma dan parasit yang membelukar.

“Kami sangat menyayangkan pernyataan BWS bahwa proyek telah 100 persen selesai. Tidak benar. Selesainya dimana, saluran Kompi-Janja tidak terbangun, dua saluran lain juga tidak berfungsi. Bendungan belum berfungsi, tidak ada sawah yang teraliri, kecuali di areal 30 hektare, itupun petani membuat saluran sendiri secara swadaya, tanpa bantuan pemerintah. BWS harus bertanggungjawab dalam persoalan hal ini,” kecamnya.

Sebut Fahrul, untuk membangun kembali saluran hingga sepanjang 10 kilometer di titik Kompi-Desa Janja, maka jika dikalkulasikan akan membutuhkan anggaran sebesar Rp 100 miliar lebih. Sementara, dalam masterplan-perencanaan pembangunan awal tentu sudah tergambarkan bendungan dibangun dengan 3 saluran untuk mengairi 3.286 hektare. Nyatanya, sampai saat ini tidak sesuai harapan.

“Kemana anggaran dari perencanaan awal bendungan, kemana anggaran untuk saluran Kompi-Janja,” tanya Fahrul sembari berharap Aparat Penegak Hukum (APH) benar-benar tajam mengendus dugaan aroma tidak sedap di proyek nasional ini.

Pada pemberitaan sebelumnya terungkap bahwa, anggaran proyek Bendungan Lampasio bersumber dari dana Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Ditjen Sumber Daya Air (SDA) sebesar Rp 212 miliar lebih.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Brantas ini dirancang untuk mengairi lahan pertanian yang tersebar di Desa Salugan, Desa Sibea, Desa Janja dan Desa Oyom, dengan luas total 3.286,07 Hektare. Proyek bendungan terbagi atas pembangunan induk untuk lahan seluas 141,24 Ha, SS-Salugan seluas 1.174,40 hektare, SS-Sibea seluas 225,50 hektare, SS-Kompi seluas 1.744,93 hektare.

Aktivis muda Nahdlatul Ulama ini menilai, proyek strategis nasional yang menjadi instruksi Presiden Jokowi dalam rangka menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, terancam gagal.(dni)

Tinggalkan Komentar